Sabtu, 05 November 2011

INDONESIA ORANG SAKIT ASIA TENGGARA

INDONESIA ORANG SAKIT ASIA TENGGARA
Oleh: Bonnie Setiawan

Indonesia telah dipandang sebagai “orang sakit di Asia Tenggara”, terutama setelah krisis 1997. Padahal Indonesia menyandang gelar negara terbesar di ASEAN dalam banyak hal dan satu-satunya anggota kelompok G-20 dari ASEAN. Indonesia yang seharusnya menjadi pemimpin alamiah di Asia Tenggara karena kekayaan alamnya, jauh tertinggal dibandingkan Thailand dan Malaysia, dan mungkin akan kembali tertinggal oleh Vietnam dan Filipina.
Dampak penyakit kronis Orde Baru
Zaman Suharto adalah zaman kapitalisme Negara (state-led capitalism). Pada masa itu, Negara memainkan peran utama dalam berbagai kebijakan ekonomi dan bisnis. Zaman itu ditandai pula oleh kuatnya peran militer, kantong-kantong (enclave) industri substitusi import (ISI) dan kemudian industri orientasi ekspor (IOE), serta revolusi hijau di sektor pertanian. Di berbagai Negara lain, kapitalisme Negara bisa memberdayakan ekonomi nasional dengan membangun berbagai infrastruktur dan sarana publik serta menciptakan fundamen ekonomi nasional. Ini seperti di China, Malaysia atau Thailand yang mampu menciptakan pengusaha nasional dengan visi membangun kejayaan bangsa.
Akan tetapi di Indonesia perekonomiannya dikendalikan oleh satu orang saja, yaitu Suharto. Bersama dengan keluarganya dan kroni-kroninya, mereka membangun kerajaan-kerajaan bisnis yang sifatnya rente atau parasit terhadap ekonomi nasional. Proyek-proyek ekonomi dibangun bukan untuk keberlangsungan ekonomi bangsa, tapi untuk memperkaya diri sendiri. Begitu pula kapitalisme asing dibolehkan merajalela menguasai aset-aset strategis bangsa, khususnya migas dan emas. Terjadilah kompradorisasi ekonomi. Akibatnya Indonesia tertinggal jauh dari Negara ASEAN lainnya, karena tidak juga membangun fondasi ekonomi nasional jangka panjang.
Kapitalisme Negara digantikan Kapitalisme Pasar Bebas
Sejak 1980an keatas mulai terjadi perubahan di dunia, lewat naiknya ideologi neo-liberalisme (liberalisme baru). Sejak itu badan-badan internasional mulai memaksakan diterapkannya liberalisme baru  dan ditinggalkannya kapitalisme Negara. Negara tidak lagi sebagai pemain utama dalam ekonomi dan bisnis. Pasar-lah (artinya para pelaku sektor swasta dan bisnis) sebagai pelaku utamanya. Ini disebut juga kapitalisme pasar bebas. Suharto yang berkuasa terlalu lama, sebenarnya dipaksa turun oleh kekuatan neo-liberal.
Sejak reformasi, maka seluruh kebijakan Negara sepenuhnya mengikuti kemauan dan cetak biru pasar bebas, lewat privatisasi, deregulasi, liberalisasi dan penghapusan berbagai subsidi dan barang publik sesuai resep Neo-Liberal. Juga GBHN dan Repelita dihapuskan dan diganti oleh perencanaan eksekutif saja (bukan Negara) lewat RPJP/M (Rencana Pembangunan Jangka Panjang/Menengah). Akibatnya banyak sektor publik (terutama perbankan dan sektor publik seperti listrik, air, jalan) yang dikuasai swasta/asing. Seluruh prasarasa publik juga hancur atau rusak (irigasi, sekolah, tidak ada lagi tenaga kesehatan, penyuluh pertanian dan sebagainya) karena tidak disediakan biaya. Penguasaan asing di berbagai sektor semakin intensif.
Kini kita mengalami dampak dari kebijakan kapitalisme pasar bebas. Dan pemerintah hanya mengikuti saja kepentingan pasar. Di lain pihak makin marak korupsi kaum birokrasi, kroni kekuasaan dan mafia berbagai proyek pemerintah sebagai kelanjutan sistem Orde Baru. Semakin menguat kapitalisme rente disamping kapitalisme komprador. Kedua jenis kapitalis ini bukanlah kapitalis yang bertanggungjawab kepada bangsa dan rakyatnya, tetapi hanya memperkaya diri sendiri dan untuk kepentingan jangka pendek. Mereka tidak peduli pada masa depan bangsa dan negeri Indonesia, yang penting diri sendiri kaya.
Akibatnya pula Indonesia sebagai bagian dari rantai pasokan dunia (global supply chain) bersifat paling terbelakang. Kapitalis rente dan komprador tidak merasa perlu masuk ke industri, berbeda dengan yang dilakukan oleh pengusaha nasional di Thailand dan Malaysia. Indonesia memiliki kekayaan sumberdaya alam terbesar di ASEAN, sehingga pengusahanya manja dan hanya mau terjun ke sektor ekstraktif (pertambangan) dan perkebunan. Akibatnya Indonesia tidak juga melangkah menjadi negara industri dan enggan jadi manusia industri. Sebagian kecil orang sangat kaya karena pendapatan dari pertambangan dan perkebunan (yang ditopang oleh kekuasaan), sementara mayoritas rakyat tetap tinggal dalam sektor pertanian yang subsistens dan terbelakang. Sekarang ini orang-orang super-kaya Indonesia paling banyak jumlahnya di ASEAN.
Terutama sekali karena aset-aset strategis bangsa seperti minyak, gas, emas, tembaga, nikel, dan lain-lain masih dikuasai asing. Jadilah provinsi-provinsi penghasil sumberdaya alam, seperti Aceh, Riau, Kaltim dan Papua justru menjadi kantong-kantong kemiskinan; karena hasil sumberdaya alam semua lari keluar negeri. Pemerintah dan pengusahanya hanya senang mendapat receh-receh dari SDA yang kaya itu (lewat pajak dan bagi hasil yang serba minimal serta fee/komisi jalan belakang yang jumlahnya recehan), yang dikuasai para mafia kapitalis rente tersebut. Habislah Indonesia karena rakyatnya tidak mendapat apa-apa. 
Kapan mau sehat?
Menjadi wajar ketika Indonesia lalu menjadi orang sakit Asia Tenggara. Kehidupan ekonominya tidak berkembang dan cenderung terbelakang; rapuhnya industri rakitan maupun taraf manufaktur (bukan permesinan modern); ketergantungan pada impor bahan baku dari luar, sementara bahan baku hasil bumi Indonesia dikuasai asing atau sekedar diekspor mentah-mentah; sumberdaya alam yang dikuasai asing. Belum lagi dalam sistem rantai pasokan sekarang, Indonesia kembali menempatkan dirinya hanya sebagai pemasok bahan-bahan mentah pertambangan dan komoditas mentah, sebagaimana yang tertuang dalam MP3EI (Masterplan Percepatan dan Perluasan pembangunan Ekonomi Indonesia).
Bagaimana orang sakit ini mau menjadi sehat? Satu hal dulu yang harus dibenahi, yaitu kedaulatan di sektor ekonomi. Pertama, SDA yang luar biasa besarnya (migas dan emas khususnya) harus seluruhnya dikuasai kembali oleh Negara untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Kedua, mendirikan industri-industri pengolahan di tiap-tiap daerah penghasil bahan mentah dan komoditas berdasar penguatan ekonomi rakyat dan BUMN. Ketiga, memperkuat pengusaha nasional yang bervisi kedaulatan dan kemandirian bangsa, dan menyingkirkan pengusaha rente dan komprador.
Hakul yakin dalam waktu dekat saja, akan tercipta kesejahteraan dan kemakmuran bagi seluruh rakyat Indonesia. Indonesia dipastikan akan sembuh dari sakit kronisnya dan menjadi orang tersehat dan termakmur di Asia Tenggara.***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar