Selasa, 22 November 2011

REORGANISASI FUNDAMENTAL SISTEM PRODUKSI GLOBAL

REORGANISASI FUNDAMENTAL SISTEM PRODUKSI GLOBAL
Oleh: Bonnie Setiawan

Gambaran mengenai globalisasi produksi pada saat ini hampir-hampir tidak terbayangkan sebelumnya. Globalisasi produksi sekarang sangatlah kompleks dan saling terkait satu sama lain dalam produksi skala besar tetapi juga sangat terpecah-pecah (fragmented) dan tersebar luas dalam tingkatan global. Misalnya, sebuah perusahaan bernama Li&Fung dari Hongkong, mempunyai pelanggan dari jaringannya yang berjumlah 8,000 sampai 10,000 pemasok (suppliers) yang tersebar di lebih dari 40 negara. Li&Fung memenuhi pesanan pakaian dari peritel AS, dimana ini berarti kainnya ditenun di China, kancingnya berasal dari Korea Selatan, dan penjahitannya dikerjakan di Guatemala. Contoh lain yang bagus dari perusahaan dengan rantai pasokan global adalah Caterpillar Inc.  Pada tahun 2007, Caterpillar mengirimkan produknya kepada pelanggannya di hampir 200 negara, mengoperasikan pusat-pusat manufakturnya di 24 negara (98 lokasi), dan mempunyai pusat riset dan teknik disain di 9 negara (20 lokasi). Contoh terkemuka lainnya adalah iPod dari Apple, yang mengalihdayakan seluruh proses manufakturnya dari tiap-tiap 451 komponennya ke seluruh jaringan perusahaan-perusahaannya yang luas yang meliputi Amerika Utara dan Asia. Perusahaan-perusahaan jaringannya mencakup dari sejak perusahaan multinasional semacam Toshiba yang memproduksi hard-drive, sampai ke produsen-produsen kecil yang ada di negara-negara seperti China dan Filipina yang tenaga kerjanya membuat atau merakit komponen-komponen kecil tapi penting bagi produk finalnya. Contoh lain rantai pengetahuan dan ketrampilan global, adalah ketika analis sistem di Stockholm berinteraksi setiap harinya dengan pemrogram perangkat lunak (software) di India; atau tim litbang (R&D) bekerja dalam proyek pengembangan secara kolaboratif yang tersebar lintas AS, Jepang dan Swiss; atau manajer pabrik di Detroit harus tergantung pada pemasok bagian-bagian mobil dari China, Meksiko, Brazil dan Jerman. Jadi Globalisasi produksi saat ini merepresentasikan jaringan global yang kompleks dari unit-unit alihdaya, pusat-pusat manufaktur, pusat-pusat distribusi bagian-bagian (parts), pusat-pusat logistik, kantor-kantor pemasaran, dealer-dealer, dan lokasi-lokasi pelanggan yang kesemuanya tidaklah terbayangkan sebelumnya.[1]
Sejak tahun 1980an sebetulnya kita mulai melihat bahwa globalisasi sebenarnya mengacu kepada sebuah proses reorganisasi menyeluruh dari manufaktur, perdagangan dan jasa-jasanya di dalam sebuah sistem yang melintasi batas-batas global. Para aktornya tidak lagi perusahaan-perusahaan nasional, tetapi adalah para mega-korporasi yang berorientasi global, para korporasi transnasional (TNCs) yang mengorganisasikan keseluruhan produksi dan penjualannya dengan tujuan agar dapat beroperasi ke seluruh dunia. Mereka dapat tetap mempertahankan pusat-pusat keuntungan di negara asal mereka, tetapi mereka pada dasarnya mengejar pertumbuhan dan maksimalisasi keuntungan secara lintas perbatasan nasional serta dengan perspektif yang global.[2] Pada mulanya cara TNC bekerja adalah melalui perdagangan intra-firm (di-dalam perusahaan sendiri), yang sebagian besar  terdiri dari barang-barang setengah jadi dan komponen-komponen, yang kemudiannya diproses lebih lanjut setelah diimport dan kemudian dieksport kembali. Akibat dari ini adalah yang telah kita kenal sebagai relokasi dan integrasi proses produksi diantara berbagai negara.[3]
Tahap selanjutnya, adalah dengan terjadinya revolusi Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) di tahun 1990an. Hal ini menyebabkan terjadinya pergeseran paradigmatik baik dalam hal cakupan dan skala perusahaan-perusahaan bisnis. Hasilnya adalah perubahan-perubahan dalam keragaman dan kompleksitas dari hubungan-hubungan inter-firm (antar perusahaan) dan bukan intra-firm. Hubungan baru ini dirumuskan sebagai kegiatan-kegiatan ekonomi yang intensif pada inovasi (innovation-intensive economic activities). Titik utamanya kini adalah pergeseran utama dari hirarki korporat kepada aliansi antar-korporat.[4] Perkembangan ini memuncak pada apa yang disebut sebagai ‘paradigma tekno-ekonomi’ (techno-economic paradigm) yang baru, dimana beragam inovasi teknik, keorganisasian dan manajerial saling berpadu. Perubahan teknologi yang cepat bersaling-kait dengan rezim ketepatgunaan  (appropriability regime), yang pada akhirnya menyebabkan perusahaan-perusahaan pemimpin mempertahankan hambatan-hambatan teknologisnya secara oligopolistik atas klaster-klaster kegiatan-kegiatan industrial yang saling terkait yang berdasarkan atas ‘teknologi inti’ yang spesifik, serta melakukan kerjasama untuk ‘saling memproteksi teknologi ketepatgunaan’ tersebut (mutual protection of technological appropriability).[5]
Jenis aliansi kompetitif ini dinamakan 'Wintelisme' (yang mengacu pada singkatan dua perusahaan besar Windows-Intel), dimana dominasi perusahaan Microsoft lewat system operasi Windows dan dominasi perusahaan Intel atas mikroprosesor memperlihatkan pentingnya de facto standard pasar bagi komponen-komponen berteknologi tinggi. Berbeda dengan era elektronik sebelumnya, maka kini standard didisain bersifat ‘terbuka’ tetapi standard sesungguhnya adalah ‘terbuka-tapi-bermilik’  (open-but-owned). Dalam pengertian ini maka perusahaan-perusahaan saling bersaing untuk memperebutkan pasar lewat upaya mendapatkan kepemilikan standard teknik yang diakui oleh pasar. Semakin pentingnya standard dan disain arsitektural juga terkait dengan restrukturisasi korporat maupun bentuk industrial organisasi. Dengan demikian, sekarang perusahaan-perusahaan ber-merk atau pemimpin pasar menekankan pada kegiatan-kegiatan yang intensif-inovasi, dan memutus (delinking) kegiatan-kegiatan yang intensif-produksi. Proses pemutusan ini cenderung menyebabkan perusahaan-perusahaan yang memimpin pasar untuk mengalihdayakan (outsource) kapasitas produksinya kepada perusahaan-perusahaan manufaktur ‘turn-key’. Inilah yang disebut proses alihdaya produksi, dimana perusahaan pusat hanya berkonsentrasi pada inovasi dan menyerahkan produksinya kepada perusahaan-perusahaan alihdaya (outsourcing). [6]
Tahapan akhir dari proses industrial global ini dikenal sebagai Rantai Nilai Global (RNG) atau Global Value Chain (GVC) dan Rantai Pasokan Global (RPG) atau Global Supply Chain (GSC). Sebuah rantai nilai menjelaskan keseluruhan cakupan kegiatan yang dengannya barang dan jasa beredar dari sejak konsepsinya sampai kepada distribusinya dan seterusnya. Ini termasuk beberapa kegiatan seperti disain, produksi, pemasaran, distribusi dan dukungan sampai ke konsumen akhir. Semua kegiatan ini dapat dilakukan di dalam sebuah perusahaan tunggal atau dibagi kepada beberapa perusahaan yang berbeda-beda; mereka dapat pula dilakukan dalam lokasi geografis yang tunggal atau disebar ke wilayah-wilayah lain yang lebih luas. Rantai nilai global (RNG) karenanya adalah rantai kegiatan yang dibagi kepada berbagai-bagai perusahaan dalam lokasi-lokasi geografis yang berbeda-beda. RNG mencakup rentang penuh kegiatan-kegiatan produksi yang saling berkaitan yang dijalankan oleh perusahaan-perusahaan di berbagai lokasi geografis untuk menghasilkan produk atau jasa dari sejak konsepsinya sampai produksi komplit dan penyerahannya kepada konsumen akhir. Sementara itu Rantai Pasokan Global (RNG) didefinisikan sebagai arus material-material dan produk-produk melalui proses pembelanjaan, produksi, pergudangan, distribusi dan pembuangan. [7] Disini dipakai istilah rantai pasokan untuk mencakup baik RNG maupun RPG.
Dalam akhir tahun 1990an dan awal 2000an model rantai pasokan telah menjadi arus utama dari sistem industrial. Hal ini melahirkan metode baru bernama kontrak internasional (international contracting). Kontrak-kontrak ini mengambil bentuk sebagai lisensi, waralaba, proyek-proyek  turn-key, dan subkontrak. Perusahaan-perusahaan yang melakukan hal tersebut dinamakan sebagai kontraktor internasional (International Contractors/ INC). Istilah INC sebenarnya bisa dikategorikan juga sebagai perusahaan-perusahaan multinasional (Multinational Enterprises/MNE) atau juga disebut TNCs, dan juga merujuk pada perusahaan-perusahaan kecil yang tidak sepenuhnya keluar batas negeri, tetapi hanya dalam bentuk eksportir atau kontraktor yang menjual jasa-jasa khusus semacam pemilikan teknologi (proprietary technology) atau keahlian manajemen.[8]
Dengan demikian reorganisasi produksi secara global menciptakan pembagian kerja baru lagi, yang memadukan sejumlah besar kekuatan-kekuatan kerja yang beragam dan terpisah secara ruang, yang menjalankan tugas-tugas yang terbagi-bagi secara spesifik dan yang terkait dengan proses yang lebih besar melalui berbagai bentuk organisasi sosial – mulai dari kontrol birokratis perusahaan-perusahaan multinasional, pertukaran-pertukaran pasar, jaringan sosial perusahaan-perusahaan subkontrak, serta jaring rumit keuangan – yang memfasilitasi arus kompleks dari barang-barang, uang dan informasi.[9] Kini reorganisasi dan restrukturisasi ini telah merubah istilah-istilah lama dan memotong lintasan batas-batas antara kategori yang berbeda-beda dari produksi barang-barang dan jasa atau perdagangan dan investasi ke dalam satu rantai produksi global yang terkonsolidasi.  Kini produksi barang-barang dapat saja dikategorikan sebagai jasa-jasa, begitupun sebaliknya; demikian pula investasi dapat dikatakan sebagai perdagangan, dan sebaliknya. Karena inilah maka rantai pasokan global telah benar-benar merubah dunia industrial.

***



[1] Gupta et.al. Op.cit., hlm. 9, 16-17, 22; Marcus Taylor (ed.), Global Economy Contested: Power and Conflict Across the International Division of Labour, Routledge Taylor and Francis Group, London and New York, 2008, hlm. 11
[2] Lihat John Martinussen, Society, State and Market: A Guide to Competing Theories of Development, Zed Books Ltd, London and New York, 2nd impression 1999, hlm. 114-115
[3] Martinussen, Ibid., hlm. 120-121
[4] Lihat Richard Phillips, “Approaching the organisation of economic activity in the age of cross-border alliance capitalism”, in Ronen Palan (ed.), Global Political Economy: Contemporary Theories, Routledge, London and New York, 2000 Op.cit., hlm. 36-38.
[5] Richard Phillips, Ibid., hlm. 39-42 
[6] Catatan kaki dari Phillips menyebutkan bahwa sistem produksi turnkey adalah ketika perusahaan inovasi membuat disain komponen elektronik yang lalu memberikan spesifikasinya kepada manufaktur dagang (merchant manufacturers) yang membeli inventaris komponen melalui kontrak turnkey, seperti membeli hak untuk memproduksi produk  sebelum diproduksi. Hanya ketika produsen telah menyerahkan produk jadinya, maka baru mereka mengganti pembelian awal tersebut. Manufaktur turnkey juga membundel berbagai jasa ekstra bersamaan dengan produk jadinya (seperti tes produk dan dokumentasi, pengiriman dan distribusi, perakitan akhir dan lainnya).  Lihat Phillips, ibid., hlm. 48 dan 52.
[7] UNCTAD, Integrating Developing Countries’ SMEs into Global Value Chain, United Nations, New York and Geneva, 2010, hlm. 9; Alan Rushton and Steve Walker, International Logistics and Supply Chain Outsourcing: From Local to Global, Kogan Page Ltd., London and Philadelphia, 2007, hlm. 1
[8] John Giones, International Trade and Investment: An Asia-Pacific Perspective, McGraw-Hill, Australia, 2003, hlm. 5-8
[9] Taylor, Op.cit, hlm. 11

Tidak ada komentar:

Posting Komentar