Selasa, 22 November 2011

REORGANISASI RANTAI PASOKAN

REORGANISASI RANTAI PASOKAN
DALAM SEKTOR PRODUKSI, JASA DAN INVESTASI
Oleh: Bonnie Setiawan

Dalam paradigma baru Rantai pasokan, dikenal dua konsep, Rantai Nilai Global (RNG) dan Rantai Pasokan Global (RPG). Rantai Nilai Global (RNG) menerapkan bentuk-bentuk yang berbeda dari koordinasi (atau “struktur tatakelola”(governance) dari sektor produksi, jasa dan investasi. RNG dapat berbentuk “didorong pembeli” (buyer driven) atau “didorong produsen” (producer driven). Para pembeli atau para produsen mengkoordinasikan atau mengontrol proses RNG. Banyak TNC kini mengubah peran mereka dari semula produsen global menjadi pembeli global dan koordinator global, khususnya dalam rantai yang didorong pembeli. Rantai komoditas yang didorong produsen (producer-driven commodity chains/PDCC) adalah mereka – biasanya manufaktur-manufaktur transnasional yang besar – yang memainkan peran sentral dalam mengkoordinasikan jaringan-jaringan produksi, termasuk kaitan ke belakang dan kedepan. Ini merupakan karakteristik dari industri-industri yang intensif modal dan teknologi seperti kendaraan, pesawat, komputer, semikonduktor dan peralatan-peralatan berat. Di lain pihak, rantai komoditas yang didorong pembeli (buyer-driven commodity chains/BDCC) merujuk pada industri-industri dimana peritel besar, pemasar, dan pemanufaktur ber-merk memainkan peran yang utama dalam menetapkan jaringan-jaringan produksi yang terdesentralisir dalam berbagai negara pengeksport, terutamanya yang berasal dari negara-negara berkembang.
Pola industrialisasi yang dipimpin oleh perdagangan ini (trade-led industrialization) menjadi sesuatu yang umum di industri barang-barang konsumen yang intensif tenaga kerja, semacam garmen, alas-kaki, mainan, peralatan rumah tangga, elektronik dan berbagai ragam kerajinan. Pengerjaan produksi secara umum dilakukan oleh jaringan-jaringan yang berlapis-lapis dari para kontraktor Dunia Ketiga yang membuat barang-barang akhir untuk para pembeli asing. Spesifikasi barang disediakan oleh para peritel besar atau pasar yang memesan barang-barang tersebut.[1] Karenanya sekarang terjadi pergeseran peran, dari semula para produsen manufaktur dan jasa, sekarang mereka bertindak sebagai pembeli atau pemesan saja. Sementara itu peran manufaktur dan penyedia jasa sekarang diambil-alih oleh sejumlah besar kontraktor dan pemasok, baik mereka itu besar, menengah atau kecil.  
Dengan tumbuhnya model rantai pasokan saat ini, maka telah mengakibatkan perubahan-perubahan besar dalam pengoperasian industri, termasuk juga menambahkan dimensi baru dalam sektor jasa dan investasi. Bentuk-bentuk kontrak internasional yang sebelumnya merupakan bagian dari investasi (termasuk investasi jasa), sekarang telah menjadi bidang bisnis tersendiri. Operasi kontrak internasional secara umum tidak dapat dikenali dengan jelas di dalam statistik perdagangan. Operasi turnkey dapat termasuk penyerahan peralatan yang akan dicatat sebagai eksport barang dagangan, tetapi dapat juga dimasukkan sebagai sektor jasa. Sementara itu konstruksi/enjinering, jasa manajemen dan pelatihan dapat dicatat sebagai eksport jasa. Demikian pula pembayaran untuk penggunaan aset, seperti merk, paten dan hak cipta, atau keahlian di bawah lisensi, atau operasi waralaba (franchising) dapat dicatat sebagai kredit jasa dalam neraca pembayaran. [2] Makna barunya adalah bahwa sektor jasa kemudian dapat tersebar di setiap jasa manufaktur melintasi setiap sektor. Karena setiap titik dalam rantai pasokan dapat dimaknai sebagai jasa, maka definisi sektor jasa bisa menjadi meluas.
Sejak terjadinya revolusi digital atau telematika di akhir 1990an, maka telah terjadi pertumbuhan yang cepat dalam alihdaya ke luar negeri (offshoring) di bidang jasa yang mengakibatkan implikasi yang lebih luas ketimbang alihdaya ke luar negeri di bidang manufaktur. Penyebaran TIK menyebabkan sangat mungkin untuk mengalihdayakan jasa-jasa yang melibatkan teknologi informasi, mulai dari proses dukungan kantor (back office) sampai ke jasa perangkat lunak (software) sampai ke penyerahan on-line dari jasa-jasa profesional. Offshore berbasis jasa melintasi seluruh sektor, karena semua tugas yang dapat di-digitalkan dan tidak memerlukan kontak tatap muka dapat segera dialihdayakan. Meskipun tidak ada data resmi mengenai offshore jasa, tetapi OECD di tahun 2004 telah memperkirakan bahwa nilai jasa offshore global adalah antara $10 milyar sampai $50 milyar. Potensi ekspansi jasa offshoring yang masih besar ini  menyebabkan adanya fajar baru bagi Revolusi Industri ketiga atau yang disebut sebagai sebuah paradigma baru.[3]
Perkembangan lain yang memperluas makna baru dari investasi dan jasa adalah perkembangan dari Logistik. Meskipun kita tahu bahwa logistik secara arti harafiahnya merupakan istilah yang sudah lama dipakai, akan tetapi logistik sekarang mendapatkan pengertian baru karena berkembangnya rantai pasokan global. Setidaknya istilah baru ‘logistik’ mulai digunakan pada awal tahun 1990an. Globalisasi pada akhirnya mengarah kepada kompleksitas yang semakin besar, yang pada akhirnya menghasilkan implikasi yang signifikan pada pengoperasian logistik. Banyak perusahaan memilih untuk mengalihdayakan manajemen rantai pasokan mereka. Rantai pasokan sekarang telah meluas ke seluruh benua, termasuk di dalamnya para pemasok maupun pelanggan. Mereka secara signifikan menjadi lebih kompleks, melibatkan juga pergerakan di laut, udara, kereta dan jalan darat, serta berbagai jenis persyaratan penyimpanan, maupun berbagai tingkatan kegiatan-kegiatan yang saling berhubungan seperti pelabelan kembali, pengemasan ulang, konfigurasi, penundaan, jalur sekuens (line sequencing), serta logistik berbalik (reverse logistic).[4]
Karena itu logistik dan jaringan rantai pasokan kini menjadi sangat rumit, dan harus memenuhi kebutuhan untuk merencanakan dan mengelola logistik sebagai sebuah sistem yang komplit dan terpadu yang juga membuatnya menjadi lebih sukar. Solusi terbaik bagi perusahaan global seringkali adalah mengalihdayakan operasi logistik ini. Jenis-jenis jasa yang diperlukan oleh perusahaan-perusahaan global  kini menjadi sangat canggih ketimbang yang bisa disediakan di masa lalu. Hal ini termasuk, misalnya: (a) dukungan manufaktur; (b) manajemen asal barang; (c) manajemen pengangkutan; (d) manajemen pemberangkatan; dan (e) distribusi kontrak.[5]
Jasa-jasa logistik dikerjakan oleh Kontraktor Internasional (International Contractors/INC) yang disebut juga sebagai Penyedia Jasa Logistik (PJL) atau Logistics Service Providers (LSP), atau yang secara umum dirujuk sebagai 3PLs atau Third-Party Logistics (TPL). 3PLs dapat diartikan sebagai manajemen alihdaya kegiatan-kegiatan logistik, transportasi dan distribusi. 3PL juga digunakan sebagai istilah untuk menjelaskan penyedia eksternal yang mengelola kegiatan-kegiatan alihdaya atas nama pemilik kapal atau pelanggan yang proses bisnisnya mereka kerjakan. Ada pula jenis penyedia jasa yang disebut sebagai 4PL (Fourth-Party Logistics). Mereka dapat didefinisikan sebagai integrator yang merangkaikan seluruh sumberdaya, kemampuan dan teknologi organisasi mereka dan organisasi lainnya untuk mendisain, membangun dan menjalankan solusi rantai pasokan secara komprehensif.[6]
Saat ini berdasarkan riset dari investor perbankan Lazard Freres dan BG Strategic Advisor di tahun 2006, pasar bagi alihdaya logistik dan rantai pasokan telah tumbuh dalam tingkat yang lebih besar dari 20% pertahunnya sejak pertengahan tahun 1990an. Secara global ada sekitar US$148 milyar yang dihabiskan untuk alihdaya kontrak logistik, dimana lebih dari US$117 milyarnya dihabiskan untuk jasa pengangkutan (freight forwarders). Sementara itu studi 3PL di tahun 2006 oleh Langley, menyatakan bahwa jasa logistik yang umumnya dialihdayakan kepada penyedia 3PL adalah pada bidang transportasi dan pergudangan, meskipun selama 10 tahun belakangan ada banyak jasa lainnya yang mengalami peningkatan pengalihdayaan, termasuk urusan kepabeanan (customs clearance) dan broker (brokerage), pengangkutan (freight forwarding), konsolidasi pengapalan dan lintas dok (crossdocking/shipment consolidation), serta pemenuhan pesanan dan distribusi (order fulfilment and distribution).[7]
Dengan adanya reorganisasi di seluruh dunia ini, maka ini membawa kepada paradigma baru dari bagaimana memperlakukan bidang-bidang baru dari jasa dan investasi. Sektor jasa sekarang melintas-batas seluruh sektor, sejak perusahaan-perusahaan seluruh dunia  menggunakan manajemen rantai pasokan. Bagaimana kita mengidentifikasi dan menghitung sektor jasa kini juga menjadi jauh lebih sulit. Sementara itu keberadaan dan operasi dari INC/CM di seluruh dunia juga memberi makna baru bagi investasi, yang mengaburkan identitas dari investor, pedagang, penyedia, pembeli, penjual dan lain sebagainya. Jaringan produksi global juga mengaburkan makna investasi itu sendiri, karena investasi kini berasal dari berbagai negara yang berbeda-beda dan berbagai fraksi modal yang bersama-sama melakukannya dalam satu rantai produksi dan jasa di seluruh dunia. Situasi baru ini menyebabkan dampak yang besar pada perjanjian perdagangan bebas dan rezim perdagangan bebas yang ada sekarang. 
Perlu dicatat bahwa model rantai pasokan juga telah menyebabkan cerita yang berbeda bagi kondisi perburuhan. Sebuah laporan yang dikerjakan oleh kelompok-kelompok monitor perburuhan menyebutnya sebagai bentuk dari kerja perbudakan baru (sweatshop). Hal ini karena kebanyakan perusahaan pemimpin hanya menyerahkan segala-sesuatunya kepada ratusan kontraktor dan pemasok dalam rantai pasokan di seluruh dunia. Mereka menutup mata atas terjadinya situasi kondisi kerja yang semakin memburuk di perusahaan-perusahaan pemasok. Contohnya adalah rantai pasokan elektronik di Asia yang sudah punya nama buruk. Para kontraktor memindahkan pesanan-pesanan lintas perbatasan dan di antara pabrik-pabrik dan subkontraktornya, sementara para pemilik merk memperlakukan data daftar pemasok mereka sebagai informasi yang sangat rahasia. Dalam sebuah laporan tahunan terakhir dari EICC (Electronic Industry Citizenship Coalition) yang diterbitkan sebagai hasil audit bersama di tahun 2007 dan 2008[8], ditemukan pelanggaran berat atas Aturan Perilaku (Code of Conduct) dalam jam kerja, upah dan tunjangan. Sementara itu temuan yang diungkap sendiri oleh perusahaan Apple pada bulan Februari 2009, menemukan bahwa hampir 60% pemasok yang diaudit melanggar panduan aturan perilaku atas jam kerja dan jam istirahat. Pelanggaran umum lainnya termasuk pembayaran yang jauh dari semestinya atas kerja lembur dan pemotongan upah sebagai hukuman. Apple juga menemukan bahwa beberapa perusahaan telah memalsukan catatan-catatan, adanya pengerjaan atas pekerja di bawah umur, serta pekerja kontrak yang harus membayar biaya rekruitmen melebihi batas legal. Demikian pula laporan dari Globalpost menemukan kenyataan-kenyataan berikut ini:  

·         Untuk pekerja Taiwan: pelanggaran rutin atas aturan perilaku di Apple dan industri mengenai jam kerja, jam istirahat, waktu kerja lebih, mekanisme keluhan pekerja, serta hak berorganisasi;
·         Untuk pekerja China: pelanggaran dalam kelompok industri elektronik utama dalam hal aturan perilaku atas hal-hal seperti disebut diatas, serta penuntutan atas pekerja dibawah umur;
·         Untuk pekerja migran Filipino: “biaya penempatan” yang jauh diatas dari yang telah diatur di Taiwan, dimana biaya-biaya dan pemotongan mencapai hampir seluruh upah setahun – sebuah pelanggaran ‘inti’ atas aturan perilaku Apple.[9]

***



[1] UNCTAD 2010, Op.cit.
[2] Giones, Op.cit., hlm. 6
[3] Eva Paus (ed.), Global Capitalism Unbound: Winners and Losers from Offshore Outsourcing, Palgrave MacMillan, New York, USA and Hampshire, England, 2007, hlm. 4-6
[4] Rushton dan Walker, Op.cit., hlm. 1
[5] Rushton dan Walker, Ibid., hlm. 8-9
[6] Rushton dan Walker, Ibid., hlm. 3-5
[7] Rushron dan Walker, Ibid., hlm. 2 dan 7
[8] Para anggota EEIC mempekerjakan sekitar 3.4 juta pekerja. Anggota termasuk Apple, Dell dan Hewlett-Packard.
[9] Lihat laporan dalam “Silicon Sweatshop” di http://www.Globalpost.com, 17 okt 2011, 22:07

Tidak ada komentar:

Posting Komentar