Rabu, 23 November 2011

REZIM ASEAN BARU DALAM RANTAI PASOKAN

REZIM ASEAN BARU DALAM KERANGKA RANTAI PASOKAN GLOBAL

Oleh: Bonnie Setiawan


Ada perubahan karakter dari perdagangan regional di Asia. Selama dekade terakhir ini, maka perekonomian Asia telah menjadi bagian dari jaringan pasokan yang besar, yang semakin berpusat kepada China. Perekonomian Asia semakin membentuk jaringan pasokan, dimana China memegang peran sebagai pusat perakitan untuk eksport barang-barang akhir, terutamanya barang-barang konsumsi. Kini gejala kompetisi eksport langsung telah diiringi dengan kemitraan dagang. Bagi Asia, dengan dikecualikan China, bagian atas eksport barang-barang setengah jadi (intermediate) dalam total eksport telah berlipat dua sepanjang dekade terakhir, sementara bagian atas eksport barang-barang konsumsi langsung ke AS dan kawasan Euro telah semakin menurun tajam. Asia faktanya kini memimpin sebagai sumber eksport dunia, akan tetapi kecenderungan yang paling jelas adalah terjadinya pertumbuhan yang cepat dalam perdagangan di-dalam kawasan (intra-regional trade). Perdagangan global dan perdagangan Asia dengan perekonomian di luar kawasan tersebut telah berlipat dua semenjak tahun 2000, akan tetapi perdagangan intra-Asia telah berlipat tiga. Perdagangan regional yang melibatkan negara-negara Asia yang bertumbuh secara khusus telah meningkat jauh lebih pesat. Sebagai hasilnya, ekonomi Asia merupakan 35% dari eksport dunia di tahun 2009, dibandingkan dengan 25% pada 10 tahun sebelumnya, dimana bagian dari eksport intra-regional telah meningkat menjadi 55% dari sebelumnya 45% pada periode yang sama.[1]
Oleh karenanya sistem rantai pasokan di Asia kini telah berkembang luas dan telah memperdalam perdagangan intra-regional khususnya antara Asia Timur dengan ASEAN. Perkembangan seperti ini menyebabkan dorongan bagi rezim perdagangan kearah kebutuhan sebuah rezim perdagangan baru yang dapat menyediakan solusi-solusi bagi tantangan bisnis yang tidak saja mengenai perubahan dalam tarif bea masuk, tetapi juga dalam hal aturan anti-dumping, fasilitasi perdagangan, perdagangan dan investasi, kebijakan kompetisi, hak atas kekayaan intelektual, dan lain sebagainya. Terutama juga mengenai konsep “asal-usul Negara” (country of origin) yang semakin lama semakin sulit untuk diterapkan. Ini sebagaimana yang dikatakan oleh seorang pejabat Jepang, bahwa “kaum bisnis memerlukan sebuah rezim yang dapat merespons secara cepat kebutuhan-kebutuhannya”. Ini diarahkan kepada WTO sebagai rezim universal dan juga kepada pelengkapnya di tiap-tiap FTA, baik itu bersifat bilateral ataupun regional.[2]
1. Komunitas Ekonomi ASEAN (AEC) : “Basis produksi dan Pasar Tunggal”
ASEAN sebagai sebuah blok ekonomi telah merespons secara cepat tuntutan baru tersebut. Menyadari bahwa AFTA (ASEAN Free Trade Area) yang lama tidak lagi dapat berakselerasi dengan cepat dengan kebutuhan integrasi ASEAN, maka ASEAN telah berubah ke arah jenis baru blok perdagangan dan khususnya untuk merespons sistem rantai pasokan global. Sejak itu ASEAN telah merubah seluruh rancangannya menjadi blok ekonomi dalam arti yang sebenarnya. Hal tersebut dilakukannya dalam peringatan 40 tahun ASEAN di tahun 2007, dimana seluruh kepala Negara ASEAN menandatangani kesepakatan Komunitas Ekonomi ASEAN  (ASEAN Economic Community/AEC) di Singapura sebagai satu dari tiga pilar Komunitas ASEAN dan Piagam ASEAN. AEC merupakan puncak dari visi untuk mentransformasi ASEAN menjadi  single market and production base (basis produksi dan pasar tunggal), yang menandakan ambisi ASEAN untuk menjadi kekuatan ekonomi regional yang sangat kompetitif dan secara penuh terintegrasi kepada komunitas global pada tahun 2015 nanti. Ambisi AEC adalah mendirikan pasar tunggal dan basis produksi lewat arus bebas barang-barang, jasa, investasi, modal dan pekerja trampil pada tahun 2015 yang menuntut adanya integrasi di bawah satu payung atas berbagai kebijakan yang telah ada maupun dimasukkannya aturan-aturan tambahan baru. Guna mencapai hal tersebut, maka para menteri ekonomi ASEAN   telah bersetuju untuk memperluas AFTA menjadi sebuah instrumen legal yang lebih komprehensif dengan menandatangani sebuah perjanjian baru yang bernama ASEAN Trade in Goods Agreement (ATIGA) pada bulan Februari 2009. ATIGA merupakan sebuah komitmen yang sangat komprehensif atas perdagangan barang-barang  serta mekanismenya bagi pelaksanaannya maupun rancangan kelembagaannya.[3]
Perjanjian kunci lainnya dalam kerangka AEC adalah ASEAN Comprehensive Investment Agreement (ACIA). Perjanjian ini ditandatangani oleh para menteri ekonomi ASEAN pada tanggal 26 Februari 2009. ACIA adalah hasil dari pengkonsolidasian dari dua aturan ivestasi yang pernah dibuat sebelumnya oleh ASEAN, yaitu ASEAN Agreement for the Promotion and Protection of Investment tahun 1987 (dikenal juga sebagai ASEAN investment Guarantee Agreement atau ASEAN IGA) dan Framework Agreement on the ASEAN Investment Area tahun 1998 (dikenal juga sebagai perjanjian AIA), serta dari protokol-protokol ASEAN lainnya yang terkait. ACIA merupakan perjanjian investasi yang komprehensif yang mencakup lima sektor, yaitu industri pengolahan (manufacturing), pertanian, perikanan, pertambangan dan penggalian, serta sektor jasa-jasa yang terkait dengan sektor-sektor tersebut.[4] Komponen penting lainnya dari AEC adalah AFAS (ASEAN Framework Agreement on Trade in Services). ASEAN sampai saat ini telah menyelesaikan The 7 Package of AFAS Commitment, yang ditandatangani oleh para menteri ekonomi ASEAN pada Februari 2009. Ini adalah perjanjian sektor jasa yang paling liberal dan paling ambisius yang pernah dilakukan oleh ASEAN sesuai dengan target yang ditetapkan dalam AEC Blueprint. Versi yang terakhir disebut dengan AFAS paket 7, karena berkenaan dengan 7 sektor jasa yang telah dikomitmenkan oleh seluruh Negara ASEAN hingga kini.[5] Paket paling akhir, yaitu paket ke-8 ditandatangani pada oktober 2010 dan rencananya akan diselesaikan pada tahun 2011. 
2. Perjanjian Perdagangan bebas dengan Negara-negara Asia lainnya
Komponen terakhir dari reorganisasi ekonomi ASEAN adalah penyelenggaraan kerangka FTA yang komprehensif dengan para mitra dagang utama ASEAN. ASEAN kini telah menjalin kolaborasi dengan China, Jepang, Korea Selatan dalam kerangka ASEAN+3; yang kemudian ditambah dengan bergabungnya Australia, Selandia Baru, India dalam kerangka ASEAN+6. Sampai saat ini (2011) telah diselesaikan semua FTA dengan negara-negara tersebut, yaitu: ASEAN-China FTA, ASEAN-Korea FTA, Kemitraan Ekonomi Komprehensif ASEAN-Jepang, ASEAN-Australia/New Zealand FTA, dan ASEAN-India FTA. Disamping itu masing-masing negara di ASEAN juga mulai melakukan pengikatan bilateral FTA dengan negara-negara lain di luar mitra utama. ASEAN saat ini sedang melakukan negosiasi pembentukan FTA dengan pemain utama global seperti AS, Uni-Eropa dan European Free Trade Area (EFTA), yaitu Negara-negara Eropa di luar Uni-Eropa.
3. Cetak Biru ASEAN: Melayani Rantai pasokan Global
Sebuah alat yang paling penting bagi integrasi ASEAN adalah Cetakbiru ASEAN (ASEAN Blueprint), yang menetapkan jalur aksi untuk mencapai tujuan-tujuan diatas. Ini merupakan cerminan dari sikap baru ASEAN untuk sepenuhnya bergabung kedalam jaringan produksi global dari rantai pasokan. Hal ini dapat dilihat dari jalur waktu yang terinci dan terdisiplin di bawah Cetak biru tersebut yang merujuk integrasi ASEAN kepada sistem rantai pasokan global. Cetak biru ASEAN menyatakan sebagai berikut: “A single market for goods (and services) will also facilitate the development of production networks in the region and enhance ASEAN’s capacity to serve as a global production centre or as a part of the global supply chain” (sebuah pasar tunggal bagi barang-barang (dan jasa-jasa) yang juga akan memfasilitasi pengembangan jaringan produksi di dalam kawasan serta meningkatkan kapasitas ASEAN untuk melayani, baik sebagai pusat produksi global maupun sebagai bagian dari rantai pasokan global). Hal ini juga dicantumkan dalam integrasi kepabeanan ASEAN yaitu “with the view to facilitate integration of production and supply chains” (dengan arah untuk memfasilitasi terintegrasinya produksi dan rantai pasokan). Dalam hal kaitannya dengan integrasi kepada ekonomi global, Cetak-biru ASEAN menyatakan bahwa “In order to enable ASEAN businesses to compete internationally, to make ASEAN a more dynamic and stronger segment of the global supply chain and to ensure that the internal market remains attractive for foreign investment” (Agar supaya kelompok bisnis ASEAN dapat berkompetisi secara internasional, dapat menempatkan ASEAN sebagai segmen yang kuat dan lebih dinamis dari rantai pasokan global, serta menjamin agar pasar internal ASEAN dapat tetap atraktif bagi investasi asing); serta bahwa “ASEAN shall also enhance participation in global supply networks” (ASEAN perlu meningkatkan partisipasinya di dalam jaringan pasokan global).[6] Dengan demikian integrasi ASEAN ke dalam rantai pasokan global adalah sebuah kemestian dan bahwa rezim baru AEC telah mendorong ke arah hal tersebut.
Selain itu, Cetak-biru ASEAN telah menempatkan 11 sektor prioritas bagi integrasi tersebut. Sektor-sektor tersebut adalah: barang-barang berbasis pertanian, kesehatan, transportasi udara, produk-produk otomotif, e-ASEAN (termasuk peralatan TIK), barang-barang elektronik, perikanan, produk-produk berbasis karet, tekstil dan pakaian, pariwisata, dan produk-produk berbasis kayu. Lalu pada November 2004, kerangka bagi integrasi sektor-sektor prioritas (disebut framework Agreement) beserta protokol-protokol pengintegrasian lainnya ditandatangani. Selanjutnya pada tahun 2006, ditambahkan satu sektor prioritas sehingga menjadi 12 sektor terintegrasi prioritas (Priority Integration Sectors/PIS) yaitu Logistik. Dengan demikian kini terdapat 5 sektor prioritas dalam sektor jasa, yaitu transportasi udara, e-ASEAN, kesehatan, pariwisata dan logistik.[7]  Penambahan logistik sebagai sektor prioritas baru adalah karena semakin pentingnya peran logistik dalam pengertian baru sistem rantai pasokan di ASEAN.
4. Proyek infrastruktur ASEAN
Perlu dimengerti bahwa di kebanyakan negara ASEAN terdapat infrastruktur yang buruk dan terbelakang yang sulit untuk bisa terintegrasi dengan baik ke dalam RPG. Situasi semacam ini dijumpai hampir di semua negara Asia, kecuali Jepang, Australia dan Singapura. Bila dibandingkan dengan infrastruktur rantai pasokan di AS dan Eropa, maka sangat jauh tertinggal. Berdasarkan penilaian dari Accenture (sebuah lembaga konsultan swasta), maka rantai pasokan dari korporasi multinasional di Asia dan juga perusahaan-perusahaan nasional dan swasta lokal, cenderung terpecah-pecah dan tidak kompetitif dibandingkan rekan-rekannya sekorporat di AS dan Eropa. Secara estimasi saja, mereka tiga sampai lima tahun dibelakang Barat. Di dalam Asia sendiri, terdapat kesenjangan yang membesar antara Negara-negara maju seperti Singapura, Hongkong, Jepang dan Korea Selatan; dengan Negara-negara berkembang seperti China, Indonesia, Malaysia, Filipina, Thailand dan Taiwan; serta dengan ekonomi-ekonomi yang baru bertumbuh seperti Kamboja, India dan Vietnam. Disparitas semacam ini menyebabkan pergerakan barang-barang di dalam dan lintas perbatasan menjadi sangat sulit. Oleh karenanya untuk menanggulangi hal ini, maka ASEAN harus membereskan empat bidang utama keragaman ini, yaitu: (a) infrastruktur; (b) Kapabilitas; (c) e-Niaga (e-commerce) dan (d) Organisasi. Secara umum, kendala kapabilitas merupakan akibat dari kelangkaan orang-orang yang trampil, kelangkaan dan ketidakmampuan teknologi, dan/atau ketidak-efisienan akses ke penyedia jasa logistik pihak ketiga (third-party logistics provider). ASEAN juga memperlihatkan ketidak-konsistenan kualitas dan ketersediaan infrastruktur transportasi yang menyebabkan terhambatnya arus barang-barang di dalam kawasannya, dan menambah biaya yang signifikan bagi operasi logistiknya.[8]
5. Pengkoneksian Wilayah untuk melayani Rantai Pasokan
Menyadari kelemahan-kelemahan ini, ASEAN lalu bertindak untuk mengatasinya dengan mengadopsi apa yang disebut sebagai Master Plan on ASEAN Connectivity(Rencana Induk Konektivitas ASEAN) yang ditetapkan di Hanoi, Vietnam pada bulan Oktober 2010. Dinyatakan bahwa Rencana Induk tersebut mempunyai rencana aksi (plan of action) bagi pelaksanaan secepatnya pengkoneksian ASEAN di tahun 2011-2015 melalui peningkatan pembangunan infrastruktur fisik (konektivitas fisik); kelembagaan yang efektif serta mekanisme dan prosesnya (konektivitas kelembagaan); serta pemberdayaan rakyat (konektivitas rakyat-ke-rakyat). Melalui peningkatan konektivitas ASEAN ini, maka jaringan produksi dan distribusi di kawasan ASEAN akan semakin diperdalam, diperlebar dan semakin menyebar ke perekonomian Asia Timur dan global.
Untuk konektivitas fisik, termasuk di dalamnya pembangunan jalan dan jaringan jalan, jaringan kereta api, infrastruktur pelabuhan dan maritim termasuk pelabuhan kering, jalan air ke dalam (inland waterways) dan fasilitas penerbangan, infrastruktur digital, serta sektor kelistrikan. Hal ini memerlukan perbaikan atas infrastruktur yang sudah ada, pembangunan infrastruktur baru dan fasilitas logistik, harmonisasi kerangka regulasi, serta penumbuhan budaya inovasi. Dalam hal konektivitas kelembagaan, ini termasuk halangan lintas perbatasan atas pergerakan kendaraan, barang-barang, jasa-jasa, serta tenaga trampil. Untuk mencapai ini, maka ASEAN harus terus melanjutkan upaya untuk mengatasi hambatan-hambatan non-tarif guna memfasilitasi perdagangan dan investasi di dalam ASEAN sendiri, harmonisasi standard dan penyesuaian prosedur-prosedur penilaian, serta mengoperasionalkan kesepakatan fasilitasi transportasi kunci, termasuk di dalamnya ASEAN Framework Agreement on the Facilitation of Goods in Transit (AFAFGIT), ASEAN Framework Agreement on the Facilitation of Inter-State Transport (AFAFIST), dan ASEAN Framework Agreement on Multimodal Transport (AFAMT), guna mengurangi biaya perpindahan barang lintas perbatasan.
Tambahan lagi, para anggota Negara ASEAN  perlu sepenuhnya melaksanakan Jendela Tunggal Nasional (National Single Windows) masing-masing negara ke arah realisasi Jendela Tunggal ASEAN (ASEAN Single Window/ASW) di tahun 2015 untuk menciptakan kelancaran arus barang-barang, baik diantara maupun didalam perbatasan nasional.[9] Sebuah Pasar Penerbanganan Tunggal ASEAN (ASEAN Single Aviation Market) dan sebuah Pasar Pelayaran  Tunggal ASEAN (ASEAN Single Shipping Market) juga akan ditargetkan guna menyumbang bagi arah perwujudan sebuah Basis Produksi dan Pasar Tunggal. Intinya, ASEAN haruslah terus membuka investasi secara progresif baik dari dalam ASEAN maupun dari luar kawasan ASEAN.[10]
6. Pendekatan “Rebalancing Growth” dari OECD
Dalam kenyataannya program baru pembangunan infrastruktur transport dan logistik ASEAN ini sangat didukung oleh OECD dalam laporan baru mereka berjudul “Tinjauan Ekonomi Asia Tenggara” (Southeast Asia Economic Outlook) yang muncul pertama kalinya di tahun 2010. OECD menyebutnya sebagai pendekatan “Menyeimbangkan kembali Pertumbuhan” (Rebalancing Growth), sebuah pendekatan baru bagi ASEAN untuk melaksanakan pembaruan kebijakan domestic (domestic policy reforms) yang dibutuhkan untuk meraih manfaat sepenuhnya  dalam menciptakan pasar regional tunggal lewat realokasi sumber-sumber publik  guna mendukung wilayah-wilayah pertumbuhan baru.
OECD menyatakan bahwa ASEAN memerlukan metode pembiayaan baru yang dapat dilakukan melalui pemromosian investasi infrastruktur swasta di Asia Tenggara. Negara-negara Asia Tenggara perlu membiayai investasi infrastruktur dalam jumlah yang besar, seperti jalan raya, jalan kereta api, pelabuhan-pelabuhan, dan sistem transportasi udara. Metode pembiayaan baru yang telah mengalami keberhasilan di Negara-negara OECD, diantaranya adalah obligasi pendapatan infrastruktur (infrastructure revenue bonds), yang dapat diterapkan bagi sektor transportasi di negara-negara Asia Tenggara. Metode pembiayaan ini cocok untuk mendukung pembangunan dan perawatan infrastruktur transport dalam bentuk Kemitraan Publik-Swasta (Public-Private Partnerships/PPP), dimana pembangunan dan pengoperasian jasa transport dapat menghasilkan pemasukan  dari operasi sehari-harinya. Meskipun demikian, infrastruktur lunak seperti kebijakan, regulasi dan prosedur, serta inisiatif dan perjanjian multilateral perlu melengkapi pendekatan PPP ini.[11]
7. Pembangunan Koridor Ekonomi
Upaya besar lainnya yang telah dilakukan ASEAN adalah mencoba merealisasikan konektivitas diantara negara-negara, dengan mengembangkan logistik, infrastruktur fisik dan integrasinya ke dalam pembangunan ekonomi. Upaya ini dinamakan konsep Pembangunan Koridor (Corridor Development) yang terdiri dari empat tahap pengembangan:
1.       Koridor Transport, yaitu yang secara fisik menghubungkan suatu daerah atau suatu wilayah tertentu;
2.      Koridor Multimodal, yaitu yang mempunyai lebih dari satu moda transportasi yang dapat secara fisik menghubungkan koridor, misalnya jalan dan jalur kereta api;  
3.      Koridor Logistik, yaitu  yang tidak hanya secara fisik menghubungkan suatu daerah atau suatu wilayah, tetapi juga mengharmonisasikan kerangka kelembagaan dari koridor tersebut guna memfasilitasi arus angkutan dan penyimpanannya secara efisien, serta pergerakan orang dan informasi yang terkait;  
4.      Koridor ekonomi, yaitu yang dapat menarik investasi dan menghasilkan kegiatan perekonomian di sepanjang daerah-daerah yang kurang berkembang di dalam koridor; memerlukan keterhubungan fisik dan juga kerangka kelembagaan.[12]
Koridor ekonomi kini merupakan konsep utama yang menempatkan kesemuanya di dalam satu atap, karena konsep ini mendukung pula pembangunan  ekonomi regional lewat mekanisme formal semacam FTA, kesatuan pabean (customs union) atau kerangka pasar bersama (common market). Juga melalui mekanisme informal semacam segitiga pertumbuhan (growth triangles) dan zona ekonomi khusus (special economic zones). Koridor-koridor ekonomi telah dikembangkan di bawah Program Kerjasama Ekonomi Sub-Wilayah Mekong Besar (Greater Mekong Sub-region Economic Cooperation Program/GMS-ECP), dimana jalan-jalan utama telah menghubungkan negara-negara ASEAN dengan China, serta menghubungkan ASEAN-China dengan Asia bagian Selatan (Southern Asia). Sampai saat ini telah ada tiga koridor ekonomi yang terdiri dari: (1) Koridor Ekonomi Timur-Barat (East-West Economic Corridor/EWEC); (2) Koridor Ekonomi Utara-Selatan (North-South Economic Corridor/NSEC); dan (3) Koridor Ekonomi bagian Selatan(Southern Economic Corridor/SEC), yang kemudian ditambah lagi dengan dua sub-koridor, yaitu: (a) Sub-Koridor Pantai bagian Selatan (Southern Coastal sub-corridor); dan (b) Sub-Koridor Bagian Utara (Northern sub-corridor). Pengembangan koridor-koridor ekonomi ini lebih lanjut akan menghubungkan China dengan Asia bagian Selatan, dan Negara-negara ASEAN dengan Asia bagian Selatan di masa depan.[13] Sehubungan dengan ini, China belum lama ini telah meluncurkan dana investasi infrastruktur sebesar US$ 10 milyar guna memperbaiki jalan, jalur kereta api, penerbangan dan hubungan telekomunikasi informasi antara China dengan ASEAN. China juga menyediakan US$ 15 milyar fasilitas kredit untuk mempromosikan integrasi regional dan konektivitas regional. Dengan adanya strategi investasi global China, maka ini merupakan semacam lepas landas bagi investasi lebih banyak lagi disepanjang rantai nilai di ASEAN.[14]
Semakin Intensifnya pengembangan model rantai pasokan di ASEAN telah semakin memperdalam dan memperluas skala ekspansi ke arah daerah-daerah terpencil di setiap negara ASEAN. Koridor ekonomi telah menciptakan upaya yang sangat luas untuk membuka daerah-daerah baru di provinsi-provinsi yang jauh. Jasa transportasi dan logistik semakin diperluas seiring dengan datangnya lebih banyak investasi dari luar, terutama investasi di sumber-sumber alam dan komoditas pertanian yang melimpah yang ada di hampir setiap negara-negara ASEAN. Bersamaan dengan itu adalah kecenderungan ke arah perampasan tanah, karena investasi membutuhkan sejumlah lahan yang luas yang dengan sendirinya akan mengancam tanah-tanah milik masyarakat asli. Ekspansi koridor ekonomi akan menyebabkan dampak yang luas kepada rakyat di pedesaan dan wilayah terpencil.

***


[1] Asia disini merujuk pada ASEAN-4 (Indonesia, Malaysia, Philippines, dan Thailand), Australia, China, India, Japan, New Zealand, dan NIEs (Hong Kong SAR, Korea, Singapore, dan Taiwan Provinsi China). Lihat IMF, Regional Economic Outlook: Asia and Pacific Managing the Next Phase of Growth, Washington DC: International Monetary Fund, April 2011, hlm. 60-61.
[2] Lihat Michitaka Nakatomi, presiden JETRO (Japan External Trade Organization) dalam presentasi powerpoint, “Global Value Chain in East Asia”, JETRO, 2011, hlm. 2-6.
[3] “ASEAN Trade in Goods Agreements (ATIGA)”, Fatc Sheet ASEAN, 2nd edition, Public Affairs Office of the ASEAN Secretariat, Jakarta, 17 Mei 2010
[4]   See “ASEAN Comprehensive Investment Agreement”, Fact Sheet ASEAN, 2nd edition, Public Affairs Office of the ASEAN Secretariat, Jakarta, 17 Februari 2010.
[5] ASEAN Framework Agreement on Services”, Fact Sheet ASEAN, Public Affairs Office of the ASEAN Secretariat, Jakarta, 26 Februari 2009. Lihat juga “Liberalization of Trade in Services in ASEAN”, Fact Sheet ASEAN, Public Affairs Office of the ASEAN Secretariat, Jakarta, 3 April 2007
[6] Lihat “ASEAN Economic Community Blueprint”, ASEAN Secretariat, Jakarta, Januari 2008
[7] Thitapha Wattanapruttipaisan, “Priority Integration Sectors in ASEAN: Supply-side Implications and Options”. Asian Development Review, vol. 24, no. 2, ADB 2008, hlm. 64-65
[8] Lihat Robert J. Easton dan Tian Bing Zhang, Supply Chains in Asia: Challenges and Opportunities, Accenture, 2002, hlm. 2-9; Ken Cottrill dan Mahender Singh, Southeast Asia’s Supply Chain Challenge: Building A Platform for Growth, IT Global Scale Network, Summer 2011, hlm. 3 
[9] Jendela Tunggal ASEAN (ASEAN Single Window) adalah lingkungan fasilitasi perdagangan yang beroperasi berdasarkan parameter informasi yang terstandard, prosedur-prosedur, formalitas, pengalaman terbaik internasional yang relevan dengan pengeluaran dan pengesahan barang-barang di setiap titik masuk di ASEAN di bawah setiap rezim kepabeanan tertentu. Jendela Tunggal Nasional  (National Single Window) adalah system yang memungkinkan: (i) penyerahan tunggal data dan informasi; (ii) pemrosesan data dan informasi yang tunggal dan sinkron; (iii) pengambilan keputusan yang tunggal atas pengeluaran dan pengesahan kepabeanan. Pengambilan keputusan yang tunggal akan secara seragam ditafsirkan sebagai titik tunggal dalam keputusan pengeluaran kargo oleh pabean berdasarkan keputusan, yang bila diperlukan, diambil oleh jalur kementerian dan badan-badan dan yang dikomunikasikan secara layak waktu kepada pabean. Lihat komunikasi dari ASEAN, “Experience on the Development of ASEAN Single Window”, Negotiating Group on Trade Facilitation, World Trade Organization, TN/TF/W/105, tanggal 26 Mei 2006
[10] ASEAN, Master Plan on ASEAN Connectivity, ASEAN Secretariat, Jakarta, Januari 2011
[11] Lihat OECD, Southeast Asian Economic Outlook 2010, OECD Publishing, hlm. 17-18
[12] Ruth Banomyong, “Logistics Development Study of the North South Economic Corridor.” Asian Development Bank, Manila, 2007, dikutip dari ADB, Logistics Development Study of the Greater Mekong Subregion North-South Economic Corridor: Summary, Asian Development Bank, Manila, 2008, hlm. 7.
[13] Masami Ishida, Special Economic Zones and Economic Corridors, ERIA Discussion Paper Series, Juni 2009, hlm. 1-7; Lihat juga http://www.adb.org/GMS/Economic-Corridors/approach.asp
[14] Lihat “ASEAN-China Free Trade Area Not A Zero-Sum Game”, ASEAN Secretariat, Jakarta 7 Januari 2010

Selasa, 22 November 2011

REORGANISASI RANTAI PASOKAN

REORGANISASI RANTAI PASOKAN
DALAM SEKTOR PRODUKSI, JASA DAN INVESTASI
Oleh: Bonnie Setiawan

Dalam paradigma baru Rantai pasokan, dikenal dua konsep, Rantai Nilai Global (RNG) dan Rantai Pasokan Global (RPG). Rantai Nilai Global (RNG) menerapkan bentuk-bentuk yang berbeda dari koordinasi (atau “struktur tatakelola”(governance) dari sektor produksi, jasa dan investasi. RNG dapat berbentuk “didorong pembeli” (buyer driven) atau “didorong produsen” (producer driven). Para pembeli atau para produsen mengkoordinasikan atau mengontrol proses RNG. Banyak TNC kini mengubah peran mereka dari semula produsen global menjadi pembeli global dan koordinator global, khususnya dalam rantai yang didorong pembeli. Rantai komoditas yang didorong produsen (producer-driven commodity chains/PDCC) adalah mereka – biasanya manufaktur-manufaktur transnasional yang besar – yang memainkan peran sentral dalam mengkoordinasikan jaringan-jaringan produksi, termasuk kaitan ke belakang dan kedepan. Ini merupakan karakteristik dari industri-industri yang intensif modal dan teknologi seperti kendaraan, pesawat, komputer, semikonduktor dan peralatan-peralatan berat. Di lain pihak, rantai komoditas yang didorong pembeli (buyer-driven commodity chains/BDCC) merujuk pada industri-industri dimana peritel besar, pemasar, dan pemanufaktur ber-merk memainkan peran yang utama dalam menetapkan jaringan-jaringan produksi yang terdesentralisir dalam berbagai negara pengeksport, terutamanya yang berasal dari negara-negara berkembang.
Pola industrialisasi yang dipimpin oleh perdagangan ini (trade-led industrialization) menjadi sesuatu yang umum di industri barang-barang konsumen yang intensif tenaga kerja, semacam garmen, alas-kaki, mainan, peralatan rumah tangga, elektronik dan berbagai ragam kerajinan. Pengerjaan produksi secara umum dilakukan oleh jaringan-jaringan yang berlapis-lapis dari para kontraktor Dunia Ketiga yang membuat barang-barang akhir untuk para pembeli asing. Spesifikasi barang disediakan oleh para peritel besar atau pasar yang memesan barang-barang tersebut.[1] Karenanya sekarang terjadi pergeseran peran, dari semula para produsen manufaktur dan jasa, sekarang mereka bertindak sebagai pembeli atau pemesan saja. Sementara itu peran manufaktur dan penyedia jasa sekarang diambil-alih oleh sejumlah besar kontraktor dan pemasok, baik mereka itu besar, menengah atau kecil.  
Dengan tumbuhnya model rantai pasokan saat ini, maka telah mengakibatkan perubahan-perubahan besar dalam pengoperasian industri, termasuk juga menambahkan dimensi baru dalam sektor jasa dan investasi. Bentuk-bentuk kontrak internasional yang sebelumnya merupakan bagian dari investasi (termasuk investasi jasa), sekarang telah menjadi bidang bisnis tersendiri. Operasi kontrak internasional secara umum tidak dapat dikenali dengan jelas di dalam statistik perdagangan. Operasi turnkey dapat termasuk penyerahan peralatan yang akan dicatat sebagai eksport barang dagangan, tetapi dapat juga dimasukkan sebagai sektor jasa. Sementara itu konstruksi/enjinering, jasa manajemen dan pelatihan dapat dicatat sebagai eksport jasa. Demikian pula pembayaran untuk penggunaan aset, seperti merk, paten dan hak cipta, atau keahlian di bawah lisensi, atau operasi waralaba (franchising) dapat dicatat sebagai kredit jasa dalam neraca pembayaran. [2] Makna barunya adalah bahwa sektor jasa kemudian dapat tersebar di setiap jasa manufaktur melintasi setiap sektor. Karena setiap titik dalam rantai pasokan dapat dimaknai sebagai jasa, maka definisi sektor jasa bisa menjadi meluas.
Sejak terjadinya revolusi digital atau telematika di akhir 1990an, maka telah terjadi pertumbuhan yang cepat dalam alihdaya ke luar negeri (offshoring) di bidang jasa yang mengakibatkan implikasi yang lebih luas ketimbang alihdaya ke luar negeri di bidang manufaktur. Penyebaran TIK menyebabkan sangat mungkin untuk mengalihdayakan jasa-jasa yang melibatkan teknologi informasi, mulai dari proses dukungan kantor (back office) sampai ke jasa perangkat lunak (software) sampai ke penyerahan on-line dari jasa-jasa profesional. Offshore berbasis jasa melintasi seluruh sektor, karena semua tugas yang dapat di-digitalkan dan tidak memerlukan kontak tatap muka dapat segera dialihdayakan. Meskipun tidak ada data resmi mengenai offshore jasa, tetapi OECD di tahun 2004 telah memperkirakan bahwa nilai jasa offshore global adalah antara $10 milyar sampai $50 milyar. Potensi ekspansi jasa offshoring yang masih besar ini  menyebabkan adanya fajar baru bagi Revolusi Industri ketiga atau yang disebut sebagai sebuah paradigma baru.[3]
Perkembangan lain yang memperluas makna baru dari investasi dan jasa adalah perkembangan dari Logistik. Meskipun kita tahu bahwa logistik secara arti harafiahnya merupakan istilah yang sudah lama dipakai, akan tetapi logistik sekarang mendapatkan pengertian baru karena berkembangnya rantai pasokan global. Setidaknya istilah baru ‘logistik’ mulai digunakan pada awal tahun 1990an. Globalisasi pada akhirnya mengarah kepada kompleksitas yang semakin besar, yang pada akhirnya menghasilkan implikasi yang signifikan pada pengoperasian logistik. Banyak perusahaan memilih untuk mengalihdayakan manajemen rantai pasokan mereka. Rantai pasokan sekarang telah meluas ke seluruh benua, termasuk di dalamnya para pemasok maupun pelanggan. Mereka secara signifikan menjadi lebih kompleks, melibatkan juga pergerakan di laut, udara, kereta dan jalan darat, serta berbagai jenis persyaratan penyimpanan, maupun berbagai tingkatan kegiatan-kegiatan yang saling berhubungan seperti pelabelan kembali, pengemasan ulang, konfigurasi, penundaan, jalur sekuens (line sequencing), serta logistik berbalik (reverse logistic).[4]
Karena itu logistik dan jaringan rantai pasokan kini menjadi sangat rumit, dan harus memenuhi kebutuhan untuk merencanakan dan mengelola logistik sebagai sebuah sistem yang komplit dan terpadu yang juga membuatnya menjadi lebih sukar. Solusi terbaik bagi perusahaan global seringkali adalah mengalihdayakan operasi logistik ini. Jenis-jenis jasa yang diperlukan oleh perusahaan-perusahaan global  kini menjadi sangat canggih ketimbang yang bisa disediakan di masa lalu. Hal ini termasuk, misalnya: (a) dukungan manufaktur; (b) manajemen asal barang; (c) manajemen pengangkutan; (d) manajemen pemberangkatan; dan (e) distribusi kontrak.[5]
Jasa-jasa logistik dikerjakan oleh Kontraktor Internasional (International Contractors/INC) yang disebut juga sebagai Penyedia Jasa Logistik (PJL) atau Logistics Service Providers (LSP), atau yang secara umum dirujuk sebagai 3PLs atau Third-Party Logistics (TPL). 3PLs dapat diartikan sebagai manajemen alihdaya kegiatan-kegiatan logistik, transportasi dan distribusi. 3PL juga digunakan sebagai istilah untuk menjelaskan penyedia eksternal yang mengelola kegiatan-kegiatan alihdaya atas nama pemilik kapal atau pelanggan yang proses bisnisnya mereka kerjakan. Ada pula jenis penyedia jasa yang disebut sebagai 4PL (Fourth-Party Logistics). Mereka dapat didefinisikan sebagai integrator yang merangkaikan seluruh sumberdaya, kemampuan dan teknologi organisasi mereka dan organisasi lainnya untuk mendisain, membangun dan menjalankan solusi rantai pasokan secara komprehensif.[6]
Saat ini berdasarkan riset dari investor perbankan Lazard Freres dan BG Strategic Advisor di tahun 2006, pasar bagi alihdaya logistik dan rantai pasokan telah tumbuh dalam tingkat yang lebih besar dari 20% pertahunnya sejak pertengahan tahun 1990an. Secara global ada sekitar US$148 milyar yang dihabiskan untuk alihdaya kontrak logistik, dimana lebih dari US$117 milyarnya dihabiskan untuk jasa pengangkutan (freight forwarders). Sementara itu studi 3PL di tahun 2006 oleh Langley, menyatakan bahwa jasa logistik yang umumnya dialihdayakan kepada penyedia 3PL adalah pada bidang transportasi dan pergudangan, meskipun selama 10 tahun belakangan ada banyak jasa lainnya yang mengalami peningkatan pengalihdayaan, termasuk urusan kepabeanan (customs clearance) dan broker (brokerage), pengangkutan (freight forwarding), konsolidasi pengapalan dan lintas dok (crossdocking/shipment consolidation), serta pemenuhan pesanan dan distribusi (order fulfilment and distribution).[7]
Dengan adanya reorganisasi di seluruh dunia ini, maka ini membawa kepada paradigma baru dari bagaimana memperlakukan bidang-bidang baru dari jasa dan investasi. Sektor jasa sekarang melintas-batas seluruh sektor, sejak perusahaan-perusahaan seluruh dunia  menggunakan manajemen rantai pasokan. Bagaimana kita mengidentifikasi dan menghitung sektor jasa kini juga menjadi jauh lebih sulit. Sementara itu keberadaan dan operasi dari INC/CM di seluruh dunia juga memberi makna baru bagi investasi, yang mengaburkan identitas dari investor, pedagang, penyedia, pembeli, penjual dan lain sebagainya. Jaringan produksi global juga mengaburkan makna investasi itu sendiri, karena investasi kini berasal dari berbagai negara yang berbeda-beda dan berbagai fraksi modal yang bersama-sama melakukannya dalam satu rantai produksi dan jasa di seluruh dunia. Situasi baru ini menyebabkan dampak yang besar pada perjanjian perdagangan bebas dan rezim perdagangan bebas yang ada sekarang. 
Perlu dicatat bahwa model rantai pasokan juga telah menyebabkan cerita yang berbeda bagi kondisi perburuhan. Sebuah laporan yang dikerjakan oleh kelompok-kelompok monitor perburuhan menyebutnya sebagai bentuk dari kerja perbudakan baru (sweatshop). Hal ini karena kebanyakan perusahaan pemimpin hanya menyerahkan segala-sesuatunya kepada ratusan kontraktor dan pemasok dalam rantai pasokan di seluruh dunia. Mereka menutup mata atas terjadinya situasi kondisi kerja yang semakin memburuk di perusahaan-perusahaan pemasok. Contohnya adalah rantai pasokan elektronik di Asia yang sudah punya nama buruk. Para kontraktor memindahkan pesanan-pesanan lintas perbatasan dan di antara pabrik-pabrik dan subkontraktornya, sementara para pemilik merk memperlakukan data daftar pemasok mereka sebagai informasi yang sangat rahasia. Dalam sebuah laporan tahunan terakhir dari EICC (Electronic Industry Citizenship Coalition) yang diterbitkan sebagai hasil audit bersama di tahun 2007 dan 2008[8], ditemukan pelanggaran berat atas Aturan Perilaku (Code of Conduct) dalam jam kerja, upah dan tunjangan. Sementara itu temuan yang diungkap sendiri oleh perusahaan Apple pada bulan Februari 2009, menemukan bahwa hampir 60% pemasok yang diaudit melanggar panduan aturan perilaku atas jam kerja dan jam istirahat. Pelanggaran umum lainnya termasuk pembayaran yang jauh dari semestinya atas kerja lembur dan pemotongan upah sebagai hukuman. Apple juga menemukan bahwa beberapa perusahaan telah memalsukan catatan-catatan, adanya pengerjaan atas pekerja di bawah umur, serta pekerja kontrak yang harus membayar biaya rekruitmen melebihi batas legal. Demikian pula laporan dari Globalpost menemukan kenyataan-kenyataan berikut ini:  

·         Untuk pekerja Taiwan: pelanggaran rutin atas aturan perilaku di Apple dan industri mengenai jam kerja, jam istirahat, waktu kerja lebih, mekanisme keluhan pekerja, serta hak berorganisasi;
·         Untuk pekerja China: pelanggaran dalam kelompok industri elektronik utama dalam hal aturan perilaku atas hal-hal seperti disebut diatas, serta penuntutan atas pekerja dibawah umur;
·         Untuk pekerja migran Filipino: “biaya penempatan” yang jauh diatas dari yang telah diatur di Taiwan, dimana biaya-biaya dan pemotongan mencapai hampir seluruh upah setahun – sebuah pelanggaran ‘inti’ atas aturan perilaku Apple.[9]

***



[1] UNCTAD 2010, Op.cit.
[2] Giones, Op.cit., hlm. 6
[3] Eva Paus (ed.), Global Capitalism Unbound: Winners and Losers from Offshore Outsourcing, Palgrave MacMillan, New York, USA and Hampshire, England, 2007, hlm. 4-6
[4] Rushton dan Walker, Op.cit., hlm. 1
[5] Rushton dan Walker, Ibid., hlm. 8-9
[6] Rushton dan Walker, Ibid., hlm. 3-5
[7] Rushron dan Walker, Ibid., hlm. 2 dan 7
[8] Para anggota EEIC mempekerjakan sekitar 3.4 juta pekerja. Anggota termasuk Apple, Dell dan Hewlett-Packard.
[9] Lihat laporan dalam “Silicon Sweatshop” di http://www.Globalpost.com, 17 okt 2011, 22:07