Kamis, 20 Oktober 2011

PARADIGMA PERDAGANGAN BARU

PARADIGMA PERDAGANGAN BARU
Oleh: Bonnie Setiawan

Menarik untuk melihat bahwa reshuffle saat ini mengganti Menteri Perdagangan dari semula  Mari Pangestu digantikan oleh Gita Wiryawan. Demikian pula Wakil Menteri Perdagangan dari semula Mahendra Siregar digantikan oleh Bayu Krisnamurthi. 
Ada apa gerangan? Apakah memang diperlukan orang-orang baru untuk menjalankan sebuah kebijakan baru di bidang perdagangan. Di tengah-tengah mandegnya RUU Perdagangan yang tidak juga selesai-selesai, berdirinya rezim Komunitas Ekonomi ASEAN (ASEAN Economic Community-AEC) sejak 2007 serta FTA-FTA bilateral dengan mitra dagang ASEAN (China, Jepang, Korea Selatan, Australia, Selandia Baru dan India), dan ditetapkannya Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) sejak Mei 2011 lalu; apa yang akan dicapai oleh Menteri Perdagangan dan wakilnya tersebut?
Pada Desember mendatang akan diadakan Konperensi Tingkat Menteri (KTM) WTO (World Trade Organization) di Jenewa, Swiss. Ini sebuah rezim perdagangan dunia yang paling berkompeten mengatur seluruh aturan dan tatacara perdagangan dunia. WTO telah mengalami kebuntuan perundingan perdagangan sejak KTM WTO di Hong Kong tahun 2005. KTM berikutnya di Jenewa tahun 2009 tidak bisa memecahkan kebuntuan tersebut. Dan kini di tahun 2011 kembali orang meragukan WTO untuk bisa memecah kebuntuan tersebut. Masalah utamanya adalah saat ini naiknya Negara-negara Selatan di dalam perekonomian global, seperti China, Brazil, dan India menyebabkan mereka dituntut oleh Negara-negara maju untuk diperlakukan berbeda dengan Negara-negara berkembang lainnya. Di lain pihak, Negara-negara besar di Selatan tersebut menuduh Negara maju tidak juga mau merubah aturan-aturan di WTO yang dapat memberikan keadilan pada Negara-negara berkembang dan miskin, yang disebut sebagai Putaran Pembangunan Doha.
Akibat dari ini maka rezim perdagangan dunia sebenarnya sedang buntu. Kebuntuan ini menurut penulis, sebenarnya memang disengaja oleh para pihak yang berunding, khususnya Negara-negara maju. Meskipun sebenarnya memang terjadi resistensi dari Negara-negara berkembang dan miskin di WTO, yang dimotori oleh Brazil, India, Afrika Selatan, Indonesia, kelompok negara-negara Afrika dan LDCs (Least Developed Countries), akan tetapi perundingan sengaja dibuat buntu, khususnya oleh AS dan Uni-Eropa. Apa yang sebenarnya terjadi?
Perubahan Paradigma Tahap I: Perdagangan Bebas
Perlu disadari bahwa sebenarnya dunia kini sedang berubah secara mendasar. Hal ini kurang disadari oleh banyak orang. Bahkan seorang pengamat menyatakan bahwa perubahan mendasar saat ini adalah sama dengan terjadinya revolusi Industri di abad 18 atau sama dengan proses yang oleh Karl Polanyi disebut sebagai “The Great Transformation” (Transformasi Besar) (lihat Guy Standing, 2007). Revolusi yang saat ini sedang terjadi adalah yang disebut sebagai Revolusi ICT (Information and Communication Technology) yang dimulai sejak pertengahan dekade 1990an.
Kita tahu hidup kita berubah semenjak diterapkannya komputer personal di awal 1980an. Akan  tetapi itu barulah awal yang masih sederhana dari perkembangan teknologi komunikasi dan informasi yang tidak hanya mengenai bidang komunikasi dan informasi saja. Istilah lain yang lebih cocok adalah revolusi digital (lihat Don Tapscott, 1998). Saat ini revolusi ICT telah mengubah secara drastis bagaimana industri dan perdagangan harus dijalankan. Revolusi teknologi digital telah merubah arti dari globalisasi menjadi sesuatu yang kongkrit dan nyata.
Globalisasi ekonomi biasanya diartikan sebagai hilangnya batas-batas diantara Negara-negara di dunia sehingga satu sama lain kini saling terhubung secara bebas dan saling tergantung satu sama lain. Perdagangan global juga demikian, yang dicirikan oleh dihapusnya batas-batas antar Negara yang semula diatur oleh tarif bea masuk. Kini di dalam rezim area/perjanjian perdagangan bebas (WTO dan FTA) maka seluruh tarif akan dijadikan hingga 0% dan hanya sedikit sekali yang disisakan ke maksimal 5%, dan ini yang biasanya bersifat sensitif. Contohnya adalah perdagangan bebas antara China-ASEAN, Jepang-ASEAN, Australia/Selandia Baru-ASEAN yang menyebabkan masuknya barang-barang produksi luar secara deras ke dalam pasar dalam negeri yang menyebabkan kerugian pada pelaku industri domestik.
Sebenarnya perdagangan bebas telah dipaksakan dalam perjanjian-perjanjian tersebut, karena kebutuhan akan operasionalisasi dari perusahaan-perusahaan trans-nasional (TNCs) yang melakukan perdagangan intra-firm (perdagangan di dalam perusahaan itu sendiri) yang bersifat antar-negara dan lintas-perbatasan. TNCs di tahun 1980an ini sudah bersifat mega-korporasi yang berorientasi global, yang memproduksi dan menjual dalam skala dunia. Contohnya Toyota yang saling berdagang didalam ASEAN dalam hal bagian-bagian dan suku cadangnya diantara perusahaan-perusahaan Toyota itu sendiri. Perdagangan intra-firm menyebabkan harus dirubahnya aturan-aturan tarif bea masuk menjadi 0% agar barang bisa keluar-masuk dengan leluasa. Inilah yang menyebabkan globalisasi sebenarnya adalah sebuah gejala ekonomi mikro, karena didorong oleh strategi dan tingkah laku para TNCs (lihat Charles Oman, 1994).           
Perubahan Paradigma Tahap II: Rantai Pasokan (Supply Chain)
Akan tetapi perubahan paradigmatik yang lebih mendasar adalah terjadinya sebuah sistem industri yang dinamakan Rantai Pasokan (Supply Chain). Ini terjadi sejak pertengahan 1990an hingga sekarang. Didorong oleh adanya revolusi teknologi digital yang semakin canggih dibanding awal 1980an, maka kini organisasi produksi tingkat global bisa dikoordinasikan secara waktu sesungguhnya (real-time) dan bahwa produksi kini harus sangat presisi dalam waktu (disebut ‘just-in-time’/JIT). Mengapa?
Sesuai semangat kapitalisme, maka pengusaha saling berkompetisi satu sama lain. Yang satu akan mengalahkan pesaingnya lewat harga yang lebih murah dan kualitas yang juga lebih baik. Hal itu sekarang bisa dilakukan lewat sebuah pola perdagangan baru yang bersifat inter-firm (perdagangan antar perusahaan). Agar produksi bisa semakin murah, maka berbagai perusahaan kini dipaksa untuk saling beraliansi dan berkolaborasi satu sama lain. Disinilah diberlakukan sebuah konsep yang paling penting pada saat ini, yaitu inovasi. Dibedakan dengan tegas antara kegiatan inovatif dengan kegiatan produksi; antara bidang yang sepenuhnya mencari inovasi-inovasi baru, seperti dalam riset dan pengembangan, dengan bidang yang sepenuhnya produksi fisik, seperti memproduksi berbagai barang dan mesin. Ini disebut sebagai ‘delinking’ (pemutusan atau pemisahan) antara inovasi dengan produksi.
Dalam perdagangan inter-firm (antar-perusahaan) ini, maka perusahaan pemilik merk atau perusahaan pusat akan berkonsentrasi pada kegiatan-kegiatan inovasi saja, dan menyerahkan produksinya kepada perusahaan-perusahaan sub-kontrak, yang kemudian dikenal sebagai ‘outsourcing’ (alih-daya). Alasan utama dibalik ini sebenarnya adalah pemotongan besar-besaran biaya produksi. Dengan cara ini, maka perusahaan pusat tidak perlu lagi membiayai pembelian mesin, gudang, distribusi, bahkan kantor dan karyawan yang besar. Perusahaan-perusahaan sub-kontrak ini secara teknisnya disebut sebagai pemasok (pensuplai) dari perusahaan-perusahaan bermerk (TNCs) tersebut. Disinilah dikenal konsep “rantai pasokan”, yaitu perusahaan-perusahaan pemasok yang ada dalam mata-rantai produksi menyeluruh, mulai dari sejak tingkat konsep, pasokan bahan baku, hingga produksi, distribusi dan ritel ke supermarket.  
Alihdaya produksi ini terutama dilempar ke perusahaan-perusahaan di Dunia Ketiga yang ongkos produksi dan buruhnya masih murah. Di dunia ketiga, Negara yang paling sigap dan siap menampung semua jenis sub-kontrak produksi adalah China. Dengan cara inilah, maka China sekarang bisa menjadi negara industri terkemuka dengan pertumbuhan ekonomi paling tinggi di dunia (sekitar 10-12%). Selanjutnya India, yang menampung alih-daya dalam hal pekerjaan-pekerjaan dukungan kantor, seperti akunting, pembuatan software, bahkan resepsionis. Karenanya China dan India sekarang sebetulnya menjadi tulang-punggung utama produksi Negara-negara Barat (AS dan Uni-Eropa) dan Jepang, disamping dalam porsi lebih kecil juga Brazil dan negara-negara Asia Timur dan ASEAN. Seluruh Negara Dunia Ketiga, khususnya negara-negara ‘emerging market’ (pasar berkembang) sekarang menjadi pemasok dari industri di Barat dan Jepang.
Perubahan Paradigma Perdagangan Dunia
Dengan konteks ini, maka kini semua Negara mau tidak mau, bila ingin ‘survive’ dalam perdagangan dunia, harus masuk ke dalam mata-rantai pasokan global tersebut (global supply chain). Rantai Pasokan kini merupakan paradigma baru perdagangan dan industri. Dalam hal ini bisa dimengerti bahwa WTO sebagai badan dunia perdagangan ada di posisi yang gamang, karena saat ini dunia sudah terintegrasi sedemikian rupa, sehingga tidak ada lagi barang yang sifatnya nasional (made in china atau made in USA). WTO mau tidak mau akan dirubah menjadi sebuah rezim perdagangan baru dalam konteks rantai pasokan.
Perdagangan bebas adalah prasyarat utama bagi lancarnya rantai pasokan. Dan itu sudah dilakukan di tahap awal. Kini yang perlu dilakukan adalah bagaimana agar semua negara mengadopsi dan membangun berbagai prakondisi yang diperlukan untuk terselenggaranya sistem rantai pasokan yang terintegrasi penuh dengan perdagangan dan industri global. Pemerintah Indonesia telah melakukannya lewat diluncurkannya masteplan baru bernama MP3EI. Ini adalah rencana besar bagi pembangunan infrastruktur dan sistem logistik yang sesuai dengan kebutuhan rantai pasokan global.
Karena itulah mungkin Menteri Perdagangan dan Wakilnya juga harus baru. Mengingat pandangan-pandangan lama yang sifatnya ‘sudah liberal tetapi kurang cukup liberal’ harus diarahkan menjadi lebih liberal lagi. Perdagangan kini harus diarahkan kepada sistem rantai pasokan baru. Apakah seperti itu? Kita lihat saja kiprah Kementerian Perdagangan ke depan. ***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar