SALAH KAPRAH EKONOMI INOVASI
Oleh: Bonnie Setiawan
Dewasa ini sedang terjadi diskusi-diskusi yang intensif di media, baik cetak maupun elektronik, mengenai perlunya masuk ke dalam ekonomi inovasi. Inovasi, kini merupakan kata kunci yang disebut dimana-mana. Dua lembaga baru (sejak 2010) bentukan pemerintah, yaitu Komite Ekonomi Nasional (KEN) dan Komite Inovasi Nasional (KIN), bahkan sempat mengunjungi China dan India untuk melihat dan belajar dari kebangkitan ekonomi di dua negara raksasa tersebut. Setelah itu mereka merumuskan sebuah Rencana Induk pembangunan nasional 2011-2025 dengan enam koridor ekonomi, yang dikenal sebagai MP3EI (Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia) yang diselesaikan pada bulan Mei 2011.
Akan tetapi nampaknya gegap gempita ekonomi inovasi tersebut tidak didasari oleh pemahaman yang benar mengenai arti sebenarnya dari ekonomi inovasi. Pengertian inovasi oleh KIN adalah “memperkuat sistem inovasi nasional dan mengembangkan budaya inovasi nasional”. Bahkan ketua KIN, Zuhal menyatakan bahwa inovasi berarti mampu melakukan konektivitas, yaitu dengan meningkatkan nilai tambah. Pemahaman yang salah ini juga menghinggapi hampir semua orang yang terlibat di dalamnya. Mengherankan, karena yang duduk dalam KIN tersebut adalah orang-orang top, baik dari kalangan birokrasi, akademisi maupun pengamat independen.
Ekonomi inovasi menyeret krisis
Salah-kaprah konsep inovasi ini karena dipahami secara ‘common-sense’ (awam), dan salah pemahaman mengenai konsep-konsep globalisasi dewasa ini. Seolah-olah inovasi adalah usaha berbagai penemuan teknologi dan pengetahuan baru yang bisa menyelamatkan bangunan ‘pembangunan nasional’ yang sampai sekarang tidak juga kunjung keluar dari krisis (multi-dimensi). Meskipun dalam krisis 2008-2009, Indonesia terhindar dari krisis keuangan dunia, tapi pertumbuhan ekonomi yang lambat dewasa ini, bahkan paling rendah di ASEAN, memastikan bahwa Indonesia mempuyai penyakit struktural ekonomi yang akut.
Perlu disampaikan di sini bahwa ekonomi Indonesia bisa terhindar dari krisis 2008-2009, sementara negara ASEAN lain pertumbuhannya minus, justru disebabkan karena Indonesia tidak ikut penuh di dalam rombongan negara yang menjalankan ekonomi inovasi. Indonesia tidak sepenuhnya terintegrasi ke dalam sistem industrial global seperti Singapura, Malaysia, Thailand dan Filipina. Justru kegagalan industrialisasi di Indonesia-lah yang menyebabkan Indonesia terhindar dari krisis global paling hebat tersebut.
Kegagalan industri kita saat ini sudah dikonfirmasi oleh data BPS yang mencatat pertumbuhan industri nasional pada 2010 hanya mencapai 5,1%. Bahkan industri makanan, minuman dan tembakau hanya 2,7% dan industri pupuk, kimia dan barang dari karet hanya 4,7%. Hanya industri alat angkut, permesinan dan peralatan yang tinggi pertumbuhannya (10,4%). Hal ini juga tidak lepas dari naiknya sektor industri elektronik di dunia yang otomatis mendongkrak industri nasional.
Apa ekonomi inovasi itu?
Lalu apakah ekonomi inovasi itu kalau begitu? Hal ini sangat terkait dengan apa yang kita kenal sekarang sebagai sistem industri baru yang dinamakan Rantai Pasokan (Supply Chain). Rantai pasokan mulai berkembang sejak pertengahan 1990an hingga sekarang. Didorong oleh adanya revolusi teknologi digital atau revolusi teknologi informasi dan komunikasi (ICT) yang mulai berkembang semenjak awal 1980an. Dengan revolusi teknologi digital ini maka kini organisasi produksi tingkat global bisa dikoordinasikan secara waktu sesungguhnya (real-time) dan bahwa produksi kini harus sangat presisi dalam waktu (disebut ‘just-in-time’/JIT).
Pola industri dan perdagangan yang baru tersebut bersifat inter-firm trade (perdagangan antar perusahaan). Agar produksi bisa semakin murah, maka berbagai perusahaan kini dipaksa untuk saling beraliansi dan berkolaborasi satu sama lain. Disinilah diberlakukan konsep inovasi. Ekonomi inovasi sebenarnya adalah pembedaan secara tegas antara kegiatan inovasi dengan kegiatan produksi; antara bidang yang sepenuhnya mencari inovasi-inovasi baru, seperti dalam riset dan pengembangan (R&D), standard teknologi terbaru, penguatan merek dan sebagainya; dengan bidang yang sepenuhnya melakukan produksi fisik, seperti memproduksi berbagai barang dan jasa. Ini disebut sebagai ‘delinking’ (pemutusan atau pemisahan) antara proses inovasi dengan proses produksi.
Dengan ‘delinking’ ini, maka perusahaan pemilik merk atau perusahaan pemimpin akan berkonsentrasi pada kegiatan-kegiatan inovasi saja, dan menyerahkan produksinya kepada perusahaan-perusahaan sub-kontrak, yang kemudian dikenal sebagai ‘outsourcing’ (alih-daya) dan ‘offshoring’ (alih-daya ke luar negeri). Alasan utama dibalik ini sebenarnya adalah pemotongan besar-besaran biaya produksi. Dengan cara ini, maka perusahaan pusat tidak perlu lagi membiayai pembelian mesin, gudang, distribusi, bahkan kantor dan pekerja yang besar. Perusahaan-perusahaan sub-kontrak ini secara teknis disebut sebagai pemasok (pensuplai) dari perusahaan-perusahaan bermerk (TNCs) tersebut. Disinilah dikenal konsep “rantai pasokan”, yaitu perusahaan-perusahaan pemasok yang ada di setiap jalur rantai produksi menyeluruh, mulai dari sejak tingkat konsep, pasokan bahan mentah/baku, hingga produksi, distribusi dan ritel sampai ke tangan konsumen. Perusahaan-perusahaan ini disebut juga sebagai International Contractor (INC).
Ekonomi inovasi adalah bagian dari rantai pasokan global
Alihdaya (outsourcing) produksi ini terutama dilempar ke perusahaan-perusahaan di Dunia Ketiga yang ongkos produksi dan buruhnya masih murah. Di dunia ketiga, Negara yang paling sigap dan siap menampung semua jenis alih-daya produksi adalah China. Dengan cara inilah, maka China sekarang bisa menjadi negara industri terkemuka dengan pertumbuhan ekonomi paling tinggi di dunia (sekitar 10-14%). Selanjutnya India, yang menampung alih-daya dalam hal pekerjaan-pekerjaan dukungan kantor, seperti akunting, pembuatan software, bahkan resepsionis. Karenanya China disebut sebagai ‘workshop of the world’ dan India disebut sebagai ‘back-office of the world’. Keduanya sekarang sebetulnya menjadi tulang-punggung utama produksi Negara-negara Barat (AS dan Uni-Eropa) dan Jepang, disamping juga Brazil, Turki serta negara-negara Asia Timur dan ASEAN. Negara-negara ‘emerging market’ (pasar berkembang) sekarang menjadi pemasok dari industri di Barat dan Jepang.
Dengan ini menjadi jelas bahwa ekonomi inovasi bukanlah sekedar mengejar inovasi dengan memperoleh nilai tambah industri. Intinya adalah perekonomian yang masuk ke dalam sistem rantai pasokan global sebagai pemasok-pemasok bagi industri-industri yang sudah mapan atau berjalan di dunia yang menerapkan inovasi. Apakah sebagai pemasok kita bisa secara perlahan membangun industri kita sendiri dan menjadi inovator? Kecenderungan dewasa ini mengatakan sebaliknya. Para pemasok besar kini dikuasai kembali oleh negara-negara maju. Untuk menjadi pemasok yang diakui, dibutuhkan biaya, teknologi dan standard industri yang sulit dicapai oleh perusahaan-perusahaan Indonesia saat ini. Jadi ekonomi inovasi tidaklah sesederhana yang dikatakan banyak orang. ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar